PUMPING BLOG

Rabu, 16 September 2009

MENGKAJI SOSOK GURU MATEMATIKA YANG PROFESIONAL

Sumber: http://mulyatisolo.blogspot.com

A. PENDAHULUAN
Matematika merupakan ilmu yang abstrak, hirarkis dan konsisten yang melandasi disiplin ilmu lainnya dan mengembangkan daya pikir manusia. Perkembangan pesat di bidang teknologi informasi dan komunikasi (TIK) saat ini juga dilandasi oleh perkembangan matematika. Oleh karena itu, di Indonesia mata pelajaran matematika diberikan dari tingkat Sekolah Dasar (SD) sampai Perguruan Tinggi (PT).

Belajar matematika tidak hanya bertujuan memperoleh pengetahuan tetapi juga diharapkan terbentuknya nilai dan sikap berikut (Mohammad Soleh, 1998: 9): kebiasaan bekerja baik (sistematis, fleksibel, imajinatif, kreatif), sikap positif (berminat, termotivasi, dan menyenangi pekerjaan), kemampuan belajar efektif (menyelidiki, memecahkan masalah, berpikir logis, rasional dan kritis, serta menghargai keteraturan dan keindahan), nilai-nilai positif atau akhlak yang baik (disiplin, jujur, efisien dan efektif, selalu mencari kebenaran).

Selama ini ada anggapan dalam mempelajari matematika hanya menggunakan otak kiri (intelektual) saja, sehingga siswa hanya menghapal tanpa pemahaman. Kondisi ini diperparah dengan pembelajaran guru yang hanya menekankan aspek penyajian materi tanpa menekankan pentingnya nilai-nilai luhur dalam matematika. Sistem pendidikan juga tidak mendukung, terbukti ukuran keberhasilan ditentukan oleh Ujian Nasional (UN) yang hanya mengukur kemampuan matematika sebagai aspek pengetahuan (kognitif).

Belajar matematika tidak hanya memerlukan kecerdasan intelektual saja. Agar berkembang, matematika membutuhkan kreativitas, imajinasi, estetika, akal budi, dan intuisi, dan kebenaran (M. Masykur dan Abdul Halim F, 2007: 68). Dalam belajar matematika perlu didukung kemampuan emosional (otak kanan) dan spiritual (hati), karena kemampuan intelektual (pikir) sangat dipengaruhi kemampuan emosional dan spiritual (Abdusysyakir, 2007: 28-29). Untuk mempelajari matematika dengan baik perlu ada aktivitas menikmati dan merasakan, di samping aktivitas berpikir.

Dengan pola pembelajaran yang memadukan beberapa aspek tersebut diharapkan aka adanya pemahaman peserta didik, tidak hanya aspek pengetahuan (kognitif) tetapi juga sikap terhadap matematika. Untuk mengaplikasikan konsep tersebut diperlukan sosok guru matematika yang mempunyai kompetensi tinggi dan profesional. Lantas seperti apa sosok guru yang diharapkan tersebut? Pada makalah ini akan dikaji dan diuraikan tentang profil guru yang profesional agar pembelajaran matematika dapat berkualitas sehingga meningkatkan mutu pembelajaran secara keseluruhan.

B. KOMPETENSI PROFESIONAL GURU
Guru merupakan faktor yang sangat dominan menentukan kualitas pendidikan. Guru memegang peran ganda sebagai pengajar dan pendidik. Guru dituntut tidak hanya sebagai pengajar yang mentransfer sejumlah materi pelajaran ke siswa, tetapi sebagai pendidik guru bertugas membimbing dan membina anak didik agar menjadi manusia susila yang cakap, aktif, kretaif dan mandiri. Tugas yang berat tersebut hanya dapat dilakukan oleh guru profesional dan memiliki kompetensi tinggi.

1. Kompetensi Guru

Armstrong (2004: 92) menyatakan kompetensi adalah knowledge, skill dan kualitas individu untuk melaksanakan tugas yang dihubungkan dengan pekerjaannya. Finch & Crunkilton dalam Mulyasa (2005: 77) menyatakan kompetensi sebagai penguasaan terhadap suatu tugas, ketrampilan, sikap dan apresiasi yang diperlukan untuk menunjang keberhasilan. Senada hal tersebut Willy Susilo (2002: 6) menyatakan kompetensi (individu) adalah kombinasi pengetahuan, kemampuan/ketrampilan dan sikap yang dimiliki seorang karyawan sehingga mampu melaksanakan pekerjaannya dengan baik untuk saat ini maupun masa yang akan datang
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) Bab IV Pasal 10 Ayat (1) dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Pasal 28 Ayat (3) menyebutkan bahwa guru mempunyai 4 kompetensi yaitu:
  • Kompetensi kepribadian adalah kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik dan berakhlak mulia;
  • Kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya;
  • Kompetensi profesional merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkannya membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam standar pendidikan;
  • Kompetensi sosial adalah kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar.

2. Profesional
Sebagian besar menyatakan bahwa guru yang baik adalah guru yang profesional. Istilah guru profesional dalam UUGD sebenarnya lebih sempit dibanding makna profesional itu sendiri. Profesional sering diartikan sebagai suatu ketrampilan teknis yang dimiliki seseorang. Saat ini istilah profesional sangat populer dan digunakan hampir untuk setiap pekerjaan (Kidd et al., 2004: 177 -178). Beberapa ahli mengatakan istilah kompetensi profesional tidak sekedar kemampuan teknis mengajar dan penguasaan materi tetapi mencakup semua kompetensi lainnya.
Terdapat beberapa istilah yang saling berkaitan, yaitu profesi itu sendiri, profesional, profesionalisasi dan profesionalisme. Menurut Wadimin (2005: 45) Profesi menunjuk pada suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian, tanggung jawab dan kesetiaan. Secara teoritis profesi tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang yang tidak disiapkan untuk itu. Profesional menunjuk pada penampilan seseorang sesuai dengan tuntutan atau bidang pekerjaannya, dan dapat juga menunjuk pada orangnya. Profesionalisasi menunjuk pada proses menjadikan seseorang profesional (biasanya melalui pendidikan dan latihan yang intensif) sesuai bidang pekerjaanya, sedangkan profesionalisme menunjuk pada derajat ketrampilan seseorang sebagai profesional. Profesionalisme juga mengacu pada sikap dan komitmen anggota profesi untuk bekerja sesuai kode etik profesinya.

Profesi guru menurut UUGD merupakan bidang pekerjaan khusus yang memiliki prinsip-prinsip profesional seperti tercantum pada pasal 5 ayat (1), sebagai berikut:

  • Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme
  • Memiliki kualifikasi dan latar belakang pendidikan sesuai bidang tugasnya.
  • Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya.
  • Mematuhi kode etik profesi.
  • Memiliki hak dan kewajiban dalam melaksanakan tugas.
  • Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerjanya.
  • Memiliki kesempatan untuk mengernbangkan profesinya secara berkelanjutan.
  • Memperoleh perlindungan hukum dalam rnelaksanakan tugas profesionalnya.
  • Memiliki organisasi profesi yang berbadan hukum.

Dalam menjalankan profesinya guru harus taat dan tunduk pada kode etik guru yaitu norma dan asas yang disepakati dan diterima guru-guru di Indonesia sebagai pedoman sikap dan perilaku dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pendidik, anggota masyarakat dan warga negara (Depdiknas, 2008: 2).
Dengan bekal kompetensi profesional dan menjalankan kode etik yang telah disepakati tersebut diharapkan dapat ditemukannya sosok guru yang ideal. Kode etik guru tersebut terdiri:
  • Guru berbakti membimbing siswa untuk membentuk manusia seutuhnya yang berjiwa Pancasila.
  • Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran profesional.
  • Guru berusaha memperoleh informasi tentang siswa sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan.
  • Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses belajar-mengajar.
  • Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan masyarakat sekitarnya untuk membina peran serta dan rasa tanggung jawab bersama terhadap pendidikan.
  • Guru secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya.
  • Guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan, dan kesetiakawanan sosial.
  • Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian.
  • Guru melaksanakan segala kebijaksanaan Pemerintah dalam bidang pendidikan.

C. SOSOK GURU MATEMATIKA YANG PROFESIONAL
Agar proses pembelajaran matematika berkualitas, maka diperlukan sosok guru yang profesional dalam semua aspek, baik keilmuan maupun sikap dan perilaku. Hal ini diharapkan melahirkan sosok guru ideal sehingga mampu mengantarkan peserta didik mencapai kompetensi matematika sebagai pengetahuan maupun sikap sehingga bisa diterapkan dalam kehidupannya sehari-hari.
Identifikasi tentang sosok guru matematika profesioanl terangkum dalam empat komponen professional di berbagai aspek: pengetahuan dan pendidikan matematika, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, profesi kependidikan matematika, dan stabilitas pribadi. Identifikasi tersebut merupakan pengalaman penulis dan kajian dari berbagai literatur yang relevan (Sobel & Maletsky, 2002; Van de Walle, 2008: 1 – 9, 38 – 62, Appendik B1; dan Marsigit, 2008a, b):

1. Profesional Dalam Bidang Pengetahuan Matematika dan Pendidikan Matematika
  • Guru menguasai matematika dan hakekat pembelajaran matematika
  • Guru memahami tentang hakekat perkembangan siswa dan hakekat siswa belajar matematika
  • Guru menguasai berbagai teori dan metode pembelajaran matematika
2. Profesional dalam Strategi Pembelajaran Matematika
  • a. Guru mampu mengembangkan Rencana Pembelajaran
  • b. Guru mampu menyiapkan lingkungan belajar dan iklim belajar matematika
  • c. Menguasai dan menerapkan keterampilan dan strategi mengajar
  • d. Mampu menyiapkan dan menggunakan alat bantu pembelajaran matematika
3. Profesional Dalam Meningkatkan Profesi Kependidikan Matematika
  • Guru menyesuaikan diri dan meningkatkan dengan perkembangan global kependidikan matematika
  • Mampu menerapkan dan merefleksikan profesi kependidikan matematika
  • Guru aktif sebagai anggota profesi pendidikan matematika

Selain beberapa indikator di atas berdasarkan pengalaman dan kajian beberapa literatur (Toto Tasmara, 2001; Ary Ginanjar Agustian, 2005; Amir Tengku Ramli & Erlin Tri Sulianti, 2006; Amir Tengku Ramli, 2007 (a, b, c) untuk menjadi guru matematika yang profesional perlu memiliki beberapa kecerdasan emosi dan spiritual dalam hal kepribadian dan keseimbangan diri atau personal stability dan berusaha penulis rangkum sebagai berikut:

1. Guru perlu mengembangkan mentalitas yang tinggi

  • Memiliki visi, penuh tanggungjawab, disiplin dan proaktif terhadap tugasnya.
  • Memegang teguh nilai-nilai profesi guru matematika dan kode etik profesi guru serta memegang teguh komitmen sebagai guru.
  • Memiliki integritas yang tinggi dan citra diri yang positif
  • Memiliki etos kerja tinggi dan menjauhi ketidakberdayaan
  • Mempunyai keteguhan idealisme sebagai seorang pendidik.
2. Guru perlu mengembangkan moralitas dirinya
  • Mampu mampu memberikan keteladanan sebagai manusia berbudaya beradap, berbudi pekerti luhur, jujur dan beretika tinggi,
  • Berjiwa besar menerima kekurangan murid, dan berempati
  • Mampu mengemban amanah; dipercaya, menghargai dan menghormati orang lain.
3. Guru mengembangkan spiritualitas dirinya
  • Mempunyai karakter yaitu teguh pada prinsip-prinsip dan keyakinan sebagai kekuatan diri, tidak terombang ambing pada situasi apapun,
  • Sikap tenang, santun, memiliki akhlak mulia, memiliki iman yang kuat,
  • Menghargai prinsip-prinsip kebenaran, mengekspresikan gagasan dengan berani, diikuti tenggang rasa dan menghargai gagasan atau perasaan orang lain,
  • Mampu mengendalikan diri, santun tapi bersikap tegas,
  • Melakukan proses pengajaran yang menumbuhkan nilai-nilai spiritual dan humanisme pada jiwa peserta didik.
  • Mensyukuri segala kenikmatan yang berikan Allah atas profesinya sebagai guru
4. Perhatian terhadap Estetika
Untuk menjadi guru profesional selain memiliki berbagai kemampuan profesional maka harus mempunyai citra diri yang positif di depan peserta didik dan masyarakat berkaitan dengan penampilannya, yaitu:
  • Kebersihan diri
  • Cara Berpakaian

D. PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas, sosok guru matematika yang ideal adalah adalah guru yang memiliki berbagai macam kompetensi dan kecerdasan yang terpancar jelas dari karakter dan prilakunya sehari-hari, baik ketika sebagai pendidik, di tengah komunitas profesi, maupun sebagai anggta masyarakat. Beberapa kecerdasan yang diuraikan di atas dapat dikelompokkan menjadi empat kecerdasan yang harus dimiliki sosok guru ideal yaitu kecerdasan: intelektual (otak kiri), emosional (otak kanan), spiritual (hati) dan pancaindera. Oleh karena itu itu sudah seharusnya sebagai guru berlomba-lomba untuk menjadi sosok guru yang ideal. Ideal di mata peserta didik, ideal di mata masyarakat, dan ideal di mata Allah. Bila semakin banyak guru ideal yang tersebar di sekolah-sekolah kita, maka sudah dapat dipastikan akan banyak pula sekolah-sekolah berkualitas yang mampu membentuk karakter siswa yang cakap dan memiliki budi pekerti yang luhur.

E. DAFTAR PUSTAKA
Abdusysyakir, 2007. Ketika Kyai Mengajar Matematika. Malang: UIN Malang Press.

Amir Tengku Ramli, 2006. Memompa Teknik Pengajaran Menjadi Guru Kaya. Jakarta: Kawan Pustaka.

_________________, 2007a. Menjadi Guru Kaya. Bekasi: Pustaka Inti.

_________________, 2007b. Menjadi Guru Idola: Mengajar dari Kedalaman Cinta. Bekasi: Pustaka Inti.

_________________, 2007c. Menjadi Guru Bintang: Mengajar dengan Cahaya Hati. Bekasi: Pustaka Inti.

Amstrong, M., 2004. Performance Management. Terjemahan. Alih Bahasa: Toni Setiawan. Yogyakarta: Tugu Publisher.

Ary Ginanjar Agustian, 2005. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual (ESQ). Jakarta: Arga Wijaya Persada.

Depdiknas, 2005. Undang-undang No 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen.

_________, 2008. Kode Etik Guru Indonesia dan Dewan Kehormatan Guru Indonesia. Jakarta: Kegiatan Peningkatan Penghargaan dan Perlindungan Profesi Pendidik, Direktorat Profesi Pendidik Departemen Pendidikan Nasional.

Kydd L., Crawford M., Riches C., 2004. Professional Development for Educational Management. Terjemahan. Alih Bahasa: Ursula Gyani. Jakarta: Grasindo.

Marsigit, 2008a. Guru Matematika Bertaraf Internasional. Artikel dalm Blog. Sumber: www.pbmmarsigit.blogspot.com. Posting: 21 Desember 2008. Akses: 28 Desember 2008.

Marsigit, 2008b. Indikator Guru Matematika yang Profesional. Artikel dalm Blog. Sumber: www.pbmmarsigit.blogspot.com. Posting: 26 Desember 2008. Akses: 28 Desember 2008.

Moch Masykur & Abdul Halim Fathani, 2007. Mathematical Intelligence: Cara Cerdas Melatih Otak dan Menanggulangi Kesulitan Belajar. Yogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Moh Uzer Usman, 2005. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mohammad Soleh, 1998. Pokok-Pokok Pengajaran Matematika Sekolah. Jakarta: Departemen pendidikan dan Kebudayaan.

Mulyasa, 2005. Implementasi Kurikulum 2004: Panduan Pembelajaran KBK. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Sobel Max A., Maletsky Evan M., 2002. Mengajar Matematika: Sebuah Buku Sumber Alat Peraga, Aktivitas dan Strategi. Edisi Ketiga. Alih Bahasa: Suyono. Jakarta: Erlangga.

Toto Tasmara, 2001. Kecerdasan Ruhaniah (Transcendental Intelligence). Membentuk Kepribadian Yang Bertanggung Jawab, Profesional dan Berakhlak. Jakarta: Gema Insani Press.

Van De Walle John A., 2008. Matematika Sekolah Dasar dan Menengah: Pengembangan Pengajaran. Jilid 1. Edisi Keenam. Alih Bahasa; Suyono. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Wadimin, 2005. ”Profesionalisme Guru”. Artikel dalam Majalah Gerbang Edisi 2 th V - 2005

Willy Susilo, 2002. Audit SDM . Jakarta: PT Vorqistatama Binamega.

Senin, 11 Mei 2009

BELAH KETUPAT PEMBELAJAR:


Pembelajaran dengan mengaktifkan Gelombang Alfa,

Berdasarkan Potret Diri dan Gaya Belajar Siswa


Oleh: Budi Santoso

(Trainer Utama Wilayah Sumbagsel berlisensi Pumping Indonesia)



1. Pendahuluan

Guru Biasa memberi tahu, Guru Baik menjelaskan, Guru Ulung mendemonstrasikan dan Guru Hebat (Great Teacher) menginspirasi. Dimanakah posisi kita? Apakah hanya sebagai guru yang tugasnya hanya memindahkan/mentransfer ilmu pengetahuan (banking concept) dengan target kurikulum yang mengajar tanpa jiwa atau guru yang dapat memotivasi dan menginspirasi siswa untuk terus belajar (menjadikan siswa sebagai pembelajar)? Hanya diri kita sendiri dan Tuhan yang tahu karena jawabannya ada di dalam hati kita masing-masing.

Kesalahan besar dalam dunia pendidikan di Indonesia karena sistem yang sedang berjalan di Indonesia lebih mengedepankan hasil dari pada proses pembelajaran. Sehingga yang muncul di permukaan adalah fenomena-fenomena yang bertentangan dengan tujuan hakiki dalam proses pendidikan dan pembelajaran. Pembocoran soal/kunci secara sistematis, kecurangan-kecurangan dalam ujian, prilaku-prilaku ketidakjujuran bahkan di kalangan jajaran pendidikan itu sendiri. Tentu sebagai warga negera yang cinta negara Indonesia harusnya kita miris dan sedih dengan keadaan ini dan terus berfikir dan berbuat apa yang dapat kita lakukan terhadap pendidikan yng telah menyimpang dari relnya. Keadaan ini makin jauh dari cita-cita Ki Hajar Dewantara, sulit kita temua aplikasi dari falsafah pendidikan Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara yakni: Ing Madyo Mangun karso, Ing Ngarso sung Tulodo dan Tut Wuri Handayani bahkan dari seorang guru sekalipun. Untuk mengembalikan jiwa semboyan ini maka seharusnya proses pembelajaran yang dilakukan perlu mensinergiskan antara IQ, EQ dan SQ dan menyeimbangkan ketiganya untuk mencapai tujuan pembelajaran yang sebenarnya. Pertanyaannya adalah bagaimana proses pembelajaran yang dapat menyeimbangkan ketiganya yaitu mengoptimalkan ketiga potensi dasar manusia sebagai anugerah Tuhan kita yakni Panca Indera, Akal (otak kiri & otak kanan) dan hati. Kebanyakan proses pembelajaran yang terjadi di Indonesia hanya mengedepankan otak kiri saja, sangat jarang mengaktifkan otak kanan apalagi hati padahal ketiganya bila diaktifkan secara seimbangkan akan menjadi kekuatan yang luar biasa. (Muslim: 2008). Terutama hati, bila hati ini dapat diaktifkan dalam pembelajaran akan lebih mengoptimalkan hasil pembelajaran karena kekuatan hati 5000 kali kekuatan fikiran (Linda Mark: 1930 – 1940 dalam The Inside story) yang menyatakan ada otak di dalam hati (Heart Brain). Inilah yang menjadi tema dalam makalah ini yaitu bagaimana pembelajaran yang dilakukan oleh guru dapat dinikmati oleh guru dan siswa sehingga pembelajaran berlangsung dengan baik dan menyenangkan.

2. Pembelajaran dengan mengaktifkan Gelombang Alfa

Pada pertengahan tahun 1970-an Dr. Georgi Lozanov melakukan percobaan mengenai keadaan terbaik untuk belajar. Dia menemukan bahwa siswa dalam kondisi alfa (konsentrasi yang santai dan ikhlas), belajar dengan laju yang jauh lebih cepat.

Ada empat kondisi gelombang otak manusia sebagai berikut:

Beta

14 – 100 Hz

Kognitif, analitis, logika, otak kiri, konsentrasi, pemilahan, prasangka, pikiran sadar

Aktif, cemas, was-was, khawatir, stress, non sugestif fight or flight, disease, cortisol, norepinephrine

Alfa

8 – 13,9 Hz

Khusyu’, relaksasi, meditatif, focus-alertness, akses nurani bawah sadar.

Ikhlas, nyaman, tenang, santai, sugestif, puas, segar, bahagia, endorphine, serotonin

Theta

4 – 7,9

Sangat khusyu’, deep-meditation, problem-solving, mimpi, nurani bawah-sadar.

Ikhlas, kreatif, integratif, hening, imajinatif, catecholamines, AVP (arginine-vasopressin)

Delta

0,1 – 3,9 Hz

Tidur lelap (tanpa mimpi), non-physical state, nurani bawah sadar-kolektif

Tidak ada fikiran dan perasaan, cellular regeneration, HGH (Human Growth Hormone)

Sumber: Quantum Ikhlas: Erbe Sentanu:

Sebagian sumber membagi kategori gelombang otak menjadi 5 dengan membagi dua gelombang Beta menjadi Beta ( 14 – 15 Hz) dan Gamma (diatas 25 Hz).

Dalam kondisi alfa seseorang dapat merasa ikhlas melakukan suatu pekerjaan termasuk belajar, bila ini dapat dicapai maka mengajar dan belajar menjadi hal yang mengasikkan. Masalahnya adalah tidak semua guru mampu mengkondisikan siswa dan dirinya sendiri dalam kondisi alfa. Untuk itu guru dan siswa perlu dilatih bagaimana mengkondisikan alfa dalam gelombang otak dan hati mereka. Dalam bahasa sehari-hari kondisi ini biasa disebut sebagai kondisi “mood” untuk belajar atau bekerja. Dalam bahasa gelombang elektromagnetik kondisi ini terjadi karena sinergisnya antara gelombang otak dan gelombang hati. Berkaitan dengan kekuatan hati Stephen Covey dalam bukunya The 8th habits, From effectiveness to Greatness menyebutkan pentingnya inner voice dan transcendental values sehingga seseorang yang efektif bisa menjadi seseorang yang besar (greatness). Kuncinya karena kekuatan spiritual memliki dua dimensi waktu yaitu dunia dan akhirat.

2.1 Menggunakan Kondisi Alfa

Banyak cara menuju gelombang alfa (kondisi ikhlas), siswa perlu dibimbing untuk mencapai kondisi alfa. Salah satu caranya yakni dengan melakukan relaksasi. Konsultan pendidikan Steve Snyder (Zulfiandri: 2007) melakukan langkah-langkah berikut agar siswa mencapai kondisi alfa dan dapat berkonsentrasi penuh.

Pertama atur postur tubuh mereka. Minta para siswa duduk tegak sedikit condong ke

depan dengan kaki rata di lantai. Selanjutnya minta siswa memejamkan mata,

bernafas dalam-dalam dan memikirkan tempat khusus yang mereka visualisasikan,

memutar mata ke atas dan ke bawah, lalu buka mata kembali. Langkah ini hanya

perlu waktu sebentar. Saat membuka mata, mereka harus terpusat, santai dan

waspada.

Salah satu manfaat kondisi alfa adalah teknik ini mengembangkan sikap positif mengenai belajar. Siswa merasa santai dan terpusat, tidak tertekan atau cemas. Dalam keadaan konsentrasi dan terpusat, belajar menjadi lebih cepat dan mudah. Akibatnya, siswa memiliki sikap yang positif mengenai sekolah dan keyakinan diri yang lebih besar dalam kemampuan belajar mereka.

Sejak pertama kali mengenal dan menerima pelatihan bagiamana mengkondisikan alfa dan mensinkronisasikan otak kiri, otak kanan dan hati untuk menuju kondisi alfa. Pengkondisian alfa ketika memulai atau mengakhiri pelajaran selalu penulis gunakan. Biasanya metode yang penulis gunakan tidak seperti di atas tetapi menggunakan permainan (brain game) visual, auditori atau kinestetik kepada peserta dengan jenis game yang disesuaikan dengan usia siswa. Ketika siswa mulai merasa gembira (hati senang) mereka sudah dalam kondisi siap dan setelah sedikit memberikan motivasi dan nilai-nilai penulis baru menjelaskan materi pelajaran. Alhamdulilah dengan cara seperti ini menurut pengamatan penulis siswa dapat menikmati proses pembelajaran yang sedang berlangsung tanpa beban.

3. Pembelajaran dengan memanfaatkan Potret Diri

Ada empat prilaku (Potret Kepribadian) dasar manusia menurut seorang filosop Yunani Hippocrates yang dipopulerkan oleh Florence Littaur dalam bukunya Personality Plus(Amir: 2006: 22). Empat potret dasar tersebut adalah prilaku sanguinis popular, prilaku koleris kuat, perilaku phlegmatis damai, dan prilaku melankolis sempurna.

Empat Potret Kepribadian Dasar

SANGUINIS

Popular

(Lihatlah Saya)

Mari mengajar dengan

cra menyenangkan

KOLERIS

Kuat

(Ikutilah saya)

Mari mengajar dengan cara saya

PHLEGMATIS

Damai

(Hormatilah saya)

Mari mengajar dengan cara

yang mudah

MELANKOLIS

Sempurna

(Pahamilah saya)

Mari mengajar dengan cara

yang benar

3.1 Guru Sanguinis

Guru sanguinis mungkin tidak sehebat potret diri kepribadian lain, tetapi prilaku mereka selalu menampakkan kesenangan. Kepribadian yang meluap-luap dan pesona mereka yang memiliki daya magnetis yang kuat. Pribadi guru ini punya sekolompok penggemar dari peserta didik yang selalu menyertai mereka. Walaupun kegiatan menyenangkan sanguinis kadang-kadang lepas kendali, sang guru sanguinis sangat pandai dalam memunculkan kepribadiannya secara menarik. Sebagai pengajar, guru sanguinis cenderung menjadi guru menggembirakan, membujuk dan mengilhami, tetapi mudah lupa dan kurang baik dalam persiapan dan ketuntasan dalam pengajaran.

3.2 Guru Koleris

Guru koleris akan nampak sebagai orang yang bekerja konsisten. Kerja, atau penyelesaian merupakan salah satu kebutuhan emosional orang koleris. Kalau ada perayaan atau pertemuan syukuran di sekolah, guru koleris akan datang terlambat dan pulang lebih dulu untuk memungkinkan penyelesaian pekerjaan maksimum pada hari kerja. Guru koleris akan mempertahankan ketinggian produktivitasnya setiap hari. Mereka butuh penghargaan terhadap apa yang dilakukan. Kalau tidak mendapatkan penghargaan yang mereka butuhkan, mereka akan bekerja lebih keras lagi untuk mencapai lebih banyak dengan harapan lingkungan akan memperhatikannya. Guru koleris senantiasa berkata bagaimanapun saya mengajar untuk kepentingan sekolah ini. Sebagai orang koleris, ia merasa bersalah jika satu hari saja tidak produktif.

3.3 Guru Phlegmatis

Guru phlegmatis memiliki keiinginan yang sangat tidak kelihatan. Mereka pandai menyimpannya dan secara diam-diam merencanakan sesuatu untuk mendapatkan pengakuan orang lain. Karena sifatnya pendiam dan berpuas diri, guru phlegmatis tampak merasa senang dimanapun mereka berada. Karakter yang tenang dan terkendali serta keinginan merebut pengaruh secara diam-diam, membuat guru phlegmatis selalu ingin merebut kontrol dan mengendalikan lingkungannya dengan cara diam-diam dan sangat tenang.

3.4 Guru Melankolis

Kebutuhan emosional guru melankolis adalah ketertiban dan kepekaan. Selain menginginkan kesempurnaan dalam kehidupan profesional, mereka juga memerlukan kehidupan pribadi yang tertib. Mereka akan menghargai orang lain yang peka terhadap kebutuhan mereka. Sebagai pengajar, mereka suka mengorganisasi dengan baik, peka terhadap perasaan peserta didiknya, mempunyai kreativitas yang mendalam, dan menginginkan unjuk kerja yang bermutu. Karenanya, dalam praktik pembelajaran, secara tegas mereka ingin berada pada garis yang benar.

3.5 Prilaku Terbaik Sang Guru

Prilaku sebagai talenta terbaik bagi pengajaran adalah hasil perpaduan keempat prilaku di atas. Bagaimana cara memadukannya? Sesuaikan dengan situasi dan kondisi kelas yang sedang menjadi sasaran pembelajaran.

Prilaku Sanguinis, terbaik digunakan untuk menciptakan keakraban, memecahkan kebekuan kelas, menjadikan pembelajaran lebi fun dan lebih menyenangkan.

Prilaku Koleris, terbaik digunakan untuk mengendalikan kelas dari “anak-anak bermasalah”, mengendalikan sang trouble maker, dan menciptakan kelas lebih produktif.

Prilaku Phlegmatis, terbaik digunakan untuk mendengarkan keluhan-keluhan atau masalah-masalah dan menjaga kedamaian kelas.

Prilaku Melankolis, terbaik digunakan untuk mendetilkan pengajaran, berfikir sistematis, dan kemauan kuat untuk memastikanbhw pengajaran sudah mampu dipahamioleh siswa.

Masing-masing guru telah memiliki keempat prilaku tersebut, perbedaannya hanya pada dominasi dan inferiornya. Bagi guru yang didominasi sanguinis, perlu melatih prilaku koleris, phlegmatis dan melankolis. Guru yang didominasi koleris, harus melatih prilaku sanguinis, phlegmatis dan melankolis. Demikian juga untuk prilaku yang lain, bahkanmungkin juga ada guru yang didominasi dua prilaku sehingga hanya tinggal melatih kedua prilaki yang lain.

4. Tipe Gaya Belajar

Sebagai guru yang profesional yang mempunyai kompetensi pedagogik maka guru harus mengetahui latar belakang siswanya termasuk gaya belajar siswa-siswanya. Ada tiga gaya belajar manusia yaitu modalitas audio, visual dan kinestetik. Dalam kenyataannya setiap manusia memiliki potensi ketiga gaya belajar itu, hanya biasanya ada satu gaya belajar yang mendominasinya. Sebagai guru akan lebih memudahkan pembelajaran yang dilakukan bila dapat menyesuaikan pengajaran dengan modalitas-modalitas tersebut secara harfiah berbicara dengan bahasa yang sama dengan otak peserta didik kita.

4.1 Gaya Belajar Visual

Modalitas ini mengakses citra visual, yang diciptakan maupun yang diingat. Warna, hubungan ruang, potret mental, dan gambar, menonjol dalam modalitas ini. Seseorang yang sangat visual mungkin bercirikan hal berikut:

  • Teratur, memperhatikan segala sesuatu, menjaga penampilan
  • Mengingat dengan gambar, lebih suka membaca dari pada dibacakan
  • Membutuhkan gambaran, dan tujuan menyeluruh dan menangkap detail, mengingat apa yang dilihat
  • Nada bicara tinggi dan sering berbicara dengan cepat

4.2 Gaya Belajar Auditori

Modalitas ini mengakses segala jenis bunyi dan kata (diciptakan maupun diingat). Musik, nada, irama, dialog internal, dan suara menonjol disini. Seseorang yang auditorial dapat dicirikan sebagai berikut:

  • Perhatiannya mudah terpecah
  • Berbicara dengan pola beriirama
  • Belajar dengan cara mendengar, menggerakkan bibir/bersuara saat membaca
  • Berdialog secara internal dan eksternal

4.3 Gaya Belajar Kinestetik

Modalitas ini mengakses segala jenis gerak dan emosi (diciptakan maupun diingat). Gerakan, koordinasi, irama, tanggapan emosional dan kenyamanan fisik menonjol di sini. Seseorang yang kinestetik sering melakukan hal berikut:

  • Nenyentuh orang dan berdiri berdekatan, banyak bergerak
  • Belajar dengan melakukan, menunjukkan tulisan saat membaca, menanggapi secara fisik
  • Mengingat sambil berjalan dan melihat

5. Belah Ketupat Pembelajaran

Teknik mengajar berdasarkan personalisasi siswa adalah memadukan keempat potret dasar siswa denga tiga gaya belajar seperti pada gambar berikut yang selanjutnya disebut “Belah Ketupat Pembelajaran” karena menyerupai gambar belah ketupat.








S = Sanguinis

K = Koleris

P = Phlegmatis

M = Melankolis

V = Visual

A = Auditori

K = Kinestetik


S

K

MP

K

S

Saat guru membuka sesi pengajaran, kondisikan diri sendiri dan siswa dalam kondisi alfa dapat bersamaan dengan menggunakan pendekatan sanguini ( 5 – 10 menit). Kendalikan kelas dengan koleris bila diperlukan. Fungsi pendekatan sanguinis akan memecahkan kebekuan kelas. Sementara itu, koleris akan sangat berfungsi terhadap peserta sulit atau kelas yang tidak terkendali. Saat guru memasuki inti pengajaran, gunakan pendekatan phlegmatis dan melankolis dengan teknik penyampaian visual, auditori, kinestetik, atau memadukannya. Pada sesi akhir, gunakan kembali pendekatan sanguinis. Buat para siswa jatuh cinta dan ingin kembali hadir (rindu kelas) dalam pengajaran kita.

6. Penutup

Pembelajaran dapat terjadi dengan baik dan hasil akan optimal bila antara guru dan siswa dalam kondisi alfa yakni kondisi dimana guru dan siswa merasa ikhlas melakukan kegiatannya masing-masing. Karena guru mengajar banyak siswa yang mempunyai prilaku dan gaya belajar yang berbeda maka guru harus mempunyai ketrampilan untuk memadukan antara prilaku-prilaku mengajar serta gaya belajar siswa sesuai kondisi dan kebutuhan pada saat pembelajaran.

Secara umum hasil pembelajaran akan benar-benar baik jika siswa dan guru secara bersama-sama dan sadar ingin melakukan perubahan menuju lebih baik sehingga keduanya dapat mengoptimalkan ketiga potensi dasar manusia sebagai anugerah Tuhan yakni Rasional (IQ), Emotional (EQ) dan Spiritual (SQ) secara sinergis dengan memanfaatkan potret diri dan gaya belajar yang juga sudah dimiliki oleh manusia baik sebagai guru maupun sebagai siswa. Hal yang lebih penting lagi keinginan dan keyakinan untuk berubah menuju lebih baik yang perlu ditanamkan kepada diri sendiri (guru) maupun kepada siswa-siswa sebagai peserta didik. Nilai-nilai seperti inilah yang kurang mendapat perhatian oleh guru-guru kita yang menjadi tantangan bagi kita untuk terus membenahinya.

Daftar Pustaka

  1. Amir Tengku Ramly. 2006. Pumping Teacher, Memompa Teknik Pengajaran Menjadi Guru Kaya. PT. Kawan Pustaka: Jakarta
  2. Erbe Sentanu. 2008. Kuantum Ikhlas. Teknologi Ikhlas
  3. Zulfiandri, 2007. Qualitan Teaching Cara Cerdas Menjadi Guru Mencerahkan . Qualitan Press. Jakarta
  4. Quantum Teaching. Bobbi De Porter.
  5. Amir Tengku Ramly. Guru Idola. Pumping Publisher
  6. Institute of HeartMath. 2002. The Inside Story, Understanding The power of Feelings, Heartmath LLC : California USA
  7. Kelana, Muslim. 2008. Muhammad, SAW is a Great Enterprenuer. Dinar Publishing: Bandung
  8. Muhammad Safii Antonio, 2008. Muhammad SAW, Super Leader, Super Manager.

[1] Disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan, FKIP Unsri 14 Mei 2009

[2] Dosen FKIP Universitas Sriwijaya